Wednesday, October 17, 2012

FAKTA MENGEJUTKAN TENTANG WUDHU

AHLI NEUROLOGY AUSTRIA MEMBEBERKAN FAKTA MENGEJUTKAN TENTANG WUDHU

http://www.sabili.co.id/images/stories/inkit3/ijtima_1.jpg

Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan sekaligus neurology berkebangsaan Austria, menemukan sesuatu yang menakjubkan terhadap wudhu. Ia mengemukakan sebuah fakta yang sangat mengejutkan.
Bahwa pusat-pusat syaraf yang paling peka dari tubuh manusia ternyata berada di sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Dari sini ia menemukan hikmah dibalik wudhu yang membasuh pusat-pusat syaraf tersebut. Ia bahkan merekomendasikan agar wudlu bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan.
Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, maka berarti orang akan memelihara kesehatan dan keselarasan pusat sarafnya. Pada akhirnya Leopold memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels.
Ulama Fikih juga menjelaskan hikmah wudlu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani. Daerah yang dibasuh dalam air wudlu, seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing termasuk kotoran. Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh.
Ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudlu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudlu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.
Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari?

Cinta adalah Memberi

Karena Cinta adalah Memberi

http://www.sabili.co.id/images/stories/DSCN7366_Medium.jpg

“Menurut kamu apa arti cinta?”
Lalu sang kekasih menjawab, “Kasih sayang!”
“O, itu sinonim.”
“Jadi apa dong?”
“Cinta itu memberi.”
“Ya benar, kalau namanya cinta, harus berkorban,” si kekasih membenarkan.
Tak bisa satu memberi dan satu lagi memanfaatkan. Dengan kata lain, masing-masing sadar akan hak dan kewajibannya. Bila sudah tidak sadar akan hak dan kewajibannya, maka tak ada lagi cinta.
Dalam kamus bahasa inggris, “to take” berarti mengambil. Sedangkan “to give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi.
Konsep “take and give” ini berkonotasi mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Konsep Barat ini mengajarkan tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun. Memberi dengan melihat-lihat dulu, menguntungkan atau tidak.
Take and Give, menihilkan ikhlas. Mau shalat asalkan…. Mau infaq asalkan …. Mau apa pun asal ada yang di dapat lebih besar dari yang dia beri. Tapi, konsep itu sudah terlanjur menyebar. Padahal ada yang istilah lain yang lebih mendidik, konsep itu adalah “Give and Receive” (memberi dan menerima).
Kaitannya dengan hukum sebab akibat (law of attraction), sangat relevan. Jika “Give” adalah sebab maka “Receive” adalah sebuah akibat. If you want to “receive” than you must to “give” first! Artinya sama persis “jika ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan dulu kewajibanmu”.
Jika ingin pintar ya belajar. Ingin uang ya usaha. Ingin dihargai, ya peduli sama orang lain. Ingin anak yang shalih dan shalihah,  si Ortu harus memberi teladan. Ingin disayang istri, harus memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri.
Selalu dan selalu, setiap Anda berbuat akan ada akibatnya. Balasan itu tak selalu berupaya fisik. Bisa kasih sayang, sikap respect atau simpati. Semua balasan itu membuat Anda bahagia. Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima?
“Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barang siapa melakukan keburukan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima balasannya” (QS.Az-Zalzalah:7-8). CS

Momen Indah Menuju Jannah

Momen Indah Menuju Jannah 

 

 

Nafsu mutmainah adalah jiwa yang tenang dengan iman dalam hidupnya kepada Allah SWT serta beribadah menjalankan misi dakwah. Saat menghadapi musibah ia  selalu bertawakal. Ia akan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah kemudian bertemu Allah swt di surga. “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surgaKu,” (QS Al-Fajr [89]: 27-29).
 Momen paling indah dalam perjalanan hidup manusia adalah ketika disambut oleh malaikat dari berbagai arah pintu surga. Setiap orang yang memiliki sifat sabar itu bahagia karena akan menuai buah manis, masuk surga.  Walaupun kematian sangat berat karena sakitnya sakaratulmaut, tetapi Allah akan mengganti dengan ridhaNya.
Sebagaimana wasiat Bilal ketika sakaratulmaut kepada putrinya:
“Jangan engkau tangisi aku wahai putriku. Besok pertemuan dengan para kekasih Muhammad dan para sahabatnya seperti, Umar bin Abdul Aziz ra khalifah yang sangat adil, bijak, dan zuhud”. Di akhir hayatnya beliau dinasehati agar memberikan wasiat harta untuk anak-anaknya dari baitul muslimin. Beliau kemudian memeluk putra-putranya yang berjumlah dua belas. Kemudian berkata kepada mereka “Wahai anak-anakku kalau kalian shaleh Allah akan mengurus kalian. Jika, kalian berbuat maksiat maka Allah akan mengazab kalian.”
Kemudian beliau berkata : “Keluarlah kalian sebentar lagi akan datang tamu-tamu bukan dari kalangan jin dan manusia. Mereka keluar dengan panggilan “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Masuklah kedalam (golongan) hamba-hambaKu. Masuklah kedalam surgaKu”
Nafsu mutmainah beribadah dengan khusyu. Menjalankan syariat, melakukan perintah dan larangan-Nya dengan selalu berpikir positif kepada Allah. Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui apa yang dirasakan hamba-Nya dan Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang bertakwa.
Nafsu Muthmainah yakin dengan janji Allah yang akan memenangkan diin-Nya di atas seluruh diin “Dialah Allah yang mengutus RasulNya degan petunjuk dan diin yang haq, agar Dia mengunggulkannya di atas diin-diin yang lainnya dan cukuplah Allah sebagai saksi”(QS Al Fathayat :28).
Yakin terhadap janji Allah yang akan memberikan kemenangan kepada orang-orang beriman “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah(penguasa) di muka bumi sebagaimana telah memberikan kedudukan orang sebelum mereka, dan akan mengokohkan diin mereka yang Allah Ridhoi buat mereka dan akan mengganti rasa takut kepada mereka dengan rasa aman, mereka menyembahku dan menyekutukanku” (QS Annur: 55).
Mereka yakin dengan pertolongan Allah, “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari bangkitnya para saksi(kiamat)(QS Al-Mukminayat : 51).
Maka nafsu mutmainah itu istiqomah berdakwah, berjihad, bermujahadah dalam menegakkan kalimat Allah sampai diinullah tegak. Tenang menghadap Allah dalam kematiannya hanya diperuntukkan bagi hambaNya yang shaleh bukan untuk orang kafir, zalim, dan durjana.
Allah mengatakan kepada nafsu mutmainah ”Kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha dan diridhai, ridha dengan amal apa yang Allah berikan kepada mereka dari surga dengan ridha  dan diridhai amal shalehnya oleh Allah.”
Dikatakan kepada nafsu mutmainah “Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu”. Memiliki arti yaitu jiwa yang bertawakal kepada Allah, melakukan semua amalan yang baik dan puncaknya ketundukan serta merendahkan hati dengan sempurnanya cinta, takut dan harapan. Menempatkan diri sebagai hamba yang bertawakal kepada Allah, baik sebagai penguasa, rakyat, orang kaya, orang miskin maka ia akan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain dan alam semesta.
Nafsu mutmainah dipanggil oleh Allah “Masuklah kesurgaKu”. Inilah momentum paling membahagiakan, mendapati di dalamnya semua yang diminta dan terlintas dalam pikiran lalu puncaknya melihat Allah swt. Dalam hadis dikatakan “Ketika ahli surga telah masuk surga, ahli neraka masuk neraka, dikatakan kepada penghuni surga, Rabb kalian punya janji kepada kalian dan akan memenuhinya,”. Ahlu jannah mengatakan, “Apa yang Rabb kami akan berikan, padahal telah memberikan kepada kami apa yang tidak diberikan kepada selain kami seseorangpun, setelah itu Allah menyingkap tabir dan mereka melihat Allah”.
Allah berfirman : “hari ini Aku berikan kepada kalian keridhaanKu dan Aku tidak murka kepada kalian selamaNya”(HR Bukhari Muslim).
Saat yang paling indah adalah saat pertemuan sang khalik dengan makhlukNya yang Dia sayangi dan cintai karena ketakwaanNya. Ketenangan  nafsu mutmainah di akhirat sangat ditentukan sejauh mana dia beristiqomah dalam iman, ibadah, dan perjuangan dalam  melaksanakan perintahNya.

Keutamaan Bulan Dzulhijjah

Keutamaan Bulan Dzulhijjah


Keutamaan Bulan Dzulhijjah


Kaum Muslimin sepatutnya menyambut kedatangan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal tersebut karena Allah SWT telah menjadikan hari-hari pertama bulan Dzulhijjah sebagai "musim kebaikan" baik bagi para jamaah haji maupun bagi yang sedang tidak melaksanakan rukun Islam kelima tersebut.

Allah SWT bersumpah demi sepuluh hari itu (QS. Al Fajar: 1-2), dan tiadalah sumpah dikemukakan oleh Tuhan kecuali di dalamnya terkandung keagungan dan keutamaan tempat, waktu maupun keadaan.

Bagi para jamaah haji, pemanfaatan momentum sepuluh hari bulan Dzulhijjah akan meningkatkan kualitas dan konsentrasi ibadah haji serta syiar Islam secara keseluruhan.

Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan haji, bersungguh-sungguh beribadah pada hari-hari tersebut kualitasnya menyamai jihad fi sabilillah, karena keutamaan awal sepuluh hari Dzulhijjah semisal keutamaan sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebut bahwa keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah disebabkan oleh berkumpulnya ibadah-ibadah utama yang terdiri dari: shalat, sedekah, puasa dan haji.

Sedangkan Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa Allah SWT mewahyukan Taurat kepada Musa AS yang didahului dengan berpuasa selama 40 hari; 30 hari disinyalir berada pada bulan Dzulqa’dah dan 10 hari lainnya awal Dzulhijjah. Puasa itu menjadi penyempurna turunnya Taurat kepada Musa, dan pada bulan yang sama Allah SWT menurunkan wahyu terakhir Alquran kepada Rasulullah SAW.

Di bulan Dzulhijjah, Allah SWT menggabungkan keharaman waktu (Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram), keharaman tempat (Makkah dan Madinah sebagai tanah Haram), dan keharaman kondisi/momentum (berhaji di Baitul Haram yang menjadi profil paripurna seorang Muslim).

Maka, berbagai keistimewaan tersebut menjadikan bulan Dzulhijjah sebagai bulan istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak ada suatu hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih dicintai oleh Allah SWT daripada amalan sepuluh hari."

Para sahabat bertanya, "Tidak pula jihad fi sabilillah (lebih baik darinya)?"

Rasulullah SAW menjawab, "Tidak pula Jihad di jalan Allah (lebih baik darinya), kecuali seorang laki-laki yang keluar rumah dengan mambawa jiwa dan hartanya serta pada saat pulang tidak membawa apa-apa." (HR. Bukhari).

Karena keistimewaan itu, beberapa perbuatan baik yang istimewa dilakukan di antaranya:

1. Menjalankan ibadah haji bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melakukan ibadah haji di rumah ini dan tidak berkata kotor maupun tidak berguna, maka dosanya akan dihapuskan sebagaimana bayi yang baru keluar dari rahim ibunya." (HR. Bukhari-Muslim).

2. Puasa sunah tarwiyah dan arafah. Adalah Rasulullah SAW yang berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, Hari Asyura dan tiga hari dalam setiap bulan." (HR. Abu Daud).
 
3. Memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada hari yang perbuatan baik di dalamnya lebih agung di sisi Allah dan dicintai-Nya dibanding sepuluh hari. Maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil dan takbir di dalamnya." (HR. Tabrani).

4. Melaksanakan penyembelihan kurban (jika mampu). Dari Ummu Salmah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian menyaksikan bulan Dzulhijjah dan berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah mengambil sekecil apa pun bagian dari rambut maupun kukunya sampai ia disembelih." (HR. Muslim).

5. Memperbanyak ibadah sunah semisal berpuasa, shalat, sedekah, membaca Alquran dan semacamnya. (QS. Ali Imran: 133).

Demikianlah keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan harapan kaum Muslimin dapat memanfaatkan momentum istimewa dengan amal ibadah yang bernilai istimewa. Wallahu a'lam.

Malulah pada Allah

Malulah pada Allah


Malulah pada Allah


“Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kalian menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS [2]: 115).

Jika Anda sedang mandi dan tiba-tiba muncul wajah seseorang di hadapan Anda, bagaimana rasanya? Tidak malukah Anda? Tidakkah segera Anda berusaha menutupi aurat Anda?

Setiap saat wajah Pencipta hadir dalam seluruh episode kehidupan kita. Dalam ketelanjangan kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai perintah-Nya, bahkan melawan larangan-Nya.

Tidak malukah kita? Ataukah kita berpikir Allah sedang mengantuk dan tertidur? Padahal, Allah menegaskan, “Allah, tidak ada ilah selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS [2]: 255).

Atau, kita berpikir Allah tidak melihat? Padahal, “Bagi Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS [3]: 5). Jangan-jangan kita berpikir Allah tidak menyadari apa yang sedang terjadi?

Padahal, Allah menantang manusia, “Dan rahasiakanlah perkataan kalian atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Mahamengetahui segala isi hati. Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS [67]: 13-14).

“Dan kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS [6]:59).

Naudzubillaahi min dzaalik. Tanpa sadar kita telah mengecilkan Dia Yang Mahabesar. Tanpa sadar kita telah menyunat dan mengerdilkan iman kita sendiri.

Dia Yang Mahatahu apa yang dilahirkan maupun yang disembunyikan. Kita dapat menutupi aurat dari pandang an manusia, tetapi kita tak mungkin menutupi cela kita dari Dia yang Maha Melihat dan Mendengar.

Dari Dia yang selalu menghisab hamba-hamba-Nya. “Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kalian menyatakan apa yang ada di hati kalian atau kalian sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagi kalian. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS [2]: 284).

Karenanya, janganlah malu pada dunia, malulah pada Pemilik dunia. Jika malu pada dunia, Anda takkan malu jika tak ada wajah yang hadir. Jika malu kepada Pemilik dunia, Anda akan menjaga perbuatan di mana pun dan kapan pun. Ada maupun tak ada orang lain. Itulah yang disebut muraqabah, yakni selalu merasa diawasi oleh Allah.

Nabi SAW bersabda, “Beribadahlah engkau kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat engkau.” Jadi, malulah kepada Allah!

Monday, October 15, 2012

Cukup Allah Saja.

Cukup Allah Saja, Bukan yang Lain


Cukup Allah Saja, Bukan yang Lain
Oleh: Ustadz Yusuf Mansur
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu panggil, kecuali Dia…” (QS Al-Israa: 67).

Biasakan hanya mencari Allah. Biasakan hanya bersandar kepada Allah. Biasakan hanya perlu dan memohon kepada Allah SWT.

Menjelang tahun 2000, saya mendatangi kawan yang tinggal di Bogor. Sekitar 14 jam perjalanan bolak-balik dari Ketapang ke Bogor dan dari Bogor ke Ketapang. Saat itu tidak ada kendaraan pribadi. Niat saya hanya satu, mau pinjam uang dengan kawan saya ini sebesar Rp 30 juta.

Sesampainya di sana, Allah mengajarkan saya melalui pemandangan yang sedang saya lihat. Toko yang sekaligus jadi rumah kawan saya ini sedang dalam proses sita. Saya yang datang ingin meminjam, menjadi tertegun.

Ternyata dia mendapat masalah. Saya yang dalam keadaan serbasalah, sempat ditanya olehnya. “Makasih ya Suf, mau datang. Yah, beginilah hidup. Ngomong-ngomong, ada perlu apa nih?” ujarnya.

Saya jawab sambil berusaha senyum. “He he, mau pinjam tadinya ...” kata saya. Spontan, dia pun langsung bertanya, “Berapa?” kata dia. Dan saya pun langsung menjawab ingin meminjam sebesar Rp 30 juta. Mendengar jawaban saya, dia pun langsung tertawa seraya berkata, “Sama Suf. Saya juga butuh segitu,” jawabnya.

Pelajaran yang berharga buat saya. Jika mendatangi orang, ya kayak gitu deh. Bisa membantu pun belum tentu sesungguhnya bisa membantu. Hanya Allah semata yang kalau kita datangi, Dia yang tak punya masalah, Dia nggak punya beban, Dia nggak punya kesulitan, dan Dia selalu menerima tanpa bosan, tanpa menggerutu, tanpa mengeluh ketika seringnya kita datang.

Hanya Dia, yang jika Dia menyapa kita dengan ujian dari-Nya, lalu Dia ingin mendengar rintihan kita. Allah ingin mendengar doa kita. Rintihan dan doa dari seorang yang mengetahui bah wa dirinya tidak mampu dan tidak ada yang bisa menolong kecuali Dia.

Rintihan dan doa yang datang dari seorang hamba yang mengetahui bahwa Dia pasti bisa membantu dan tidak ada Tuhan yang disandarkan lagi seluruh persoalan kecuali kepada-Nya.

Pengalaman berharga menjelang tahun 2000 itu, membuat saya berpikir sesal namun senang. Mengapa saya datang jauh-jauh kepada manusia? Tapi saya tidak menyesal. Saya jadi tahu, memang saya salah datang. Saya datang kepada manusia yang pastinya sama-sama punya masalah, punya kebutuhan dan keperluan.

Alhamdulillah, Allah yang Mahamemberi hikmah. Sejak saat itu saya memosisikan diri seperti orang yang sedang terkena badai di tengah lautan, langsung memanggil dan memohon kepada Allah, dan hanya Allah. Sebab, memang tiada yang lain.

Untuk itu, wahai saudaraku, segeralah temui Allah. Allah ada di masjid, segeralah ke masjid, shalat berjamaah tepat waktu. Kembali lagi baca Alquran, keluarkan sedekah di saat sulit atau sedang lapang, dan cintai ibadah-ibadah sunah. Terima seluruh kesulitan dan kesusahan dengan penuh keikhlasan dan rida (mengharap) hanya kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Thursday, October 11, 2012

Keutamaan Rasulullah SAW

Keutamaan Rasulullah SAW


Keutamaan Rasulullah SAW

Sungguh keutamaan Rasulullah SAW di antara para nabi dan rasul lain di antaranya terletak pada sifat wahyunya yang umum, menyeluruh dan berlaku bagi semua umat manusia.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua." (QS. Al-A'raf: 158).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Saba': 28).

Oleh karenanya, mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW bersifat nonmateri, mudah dipahami akal sehat dan abadi. Berbeda dengan mukjizat para rasul sebelumnya yang bersifat materi dan terbatas dari sisi waktu dan tempat.

Mukjizat Musa AS misalnya, berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular yang menelan ular sulapan para ahli sihir Firaun. Sedangkan mukjizat Alquran menggetarkan hati dan jiwa; sesuai dengan landasan akal manusia; dan tidak lekang oleh waktu. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kamilah yang  menurunkan Alquran,  dan pasti Kami (pula) yang  memeliharanya." (QS. Al-Hijr: 9).

Oleh sebab itu pula, syariat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW merupakan syariat terakhir dan penyempurna dari syariat-syariat sebelumnya. Perhatikanlah syariat shalat, zakat, puasa dan haji yang merupakan penyempurnaan dari model syariah para rasul terdahulu dan tidak diperkenankan perubahan di dalamnya sampai kapan pun.

Allah SWT berfirman, "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu dan Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu serta Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu." (QS. Al Maidah: 3).

Tepatlah kemudian jika Allah SWT menempatkan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir karena kapabelitasnya dari semua segi. Semua peristiwa dan penyelesaian yang dilakukan oleh rasul-rasul terdahulu bahkan semua peristiwa masa lampau telah menjadi bekal dalam diri Muhammad SAW untuk menghadapi persoalan umatnya, sehingga di dalam mencari jalan penyelesaian beliau melakukan berbagai modifikasi untuk mendapatkan solusi terbaik.

Saat ditanya mengenai keengganannya menggunakan doa pamungkas, Rasulullah SAW menjawab, "Aku menggunakan doaku (doa pamungkas) untuk kepentingan pemberian pertolongan (syafaat) bagi umatku, nanti pada hari kiamat.”

Pantas pula jika kemudian Allah memperlakukan rasul-Nya yang satu ini dengan perlakuan yang berbeda dari rasul-rasul lainnya. Lihatlah bagaimana Allah SWT tidak pernah memanggil namanya kecuali dengan mengikutsertakan jabatan kerasulan di belakangnya.

Hal tersebut berbeda dengan rasul-rasul lain yang langsung disebut namanya oleh Allah SWT. "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bersikap kasih sayang terhadap sesama mereka." (QS. Al Fath: 29).

Pantas lah lagi jika kemudian Allah SWT menjadikannya sebagai teladan terbaik dalam hubungannya dengan manusia dan Tuhan; dunia dan akhirat; orang-orang mukmin dan kafir; serta hubungannya dengan semua makhluk tanpa kecuali. Allah SWT berfirman, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta memperbanyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab: 31).

Inilah Muhammad SAW yang keutamaannya di antara para rasul menjadi inspirasi keutamaan bagi setiap pribadi Muslim atas pribadi lain karena banyaknya kebaikan dan kemanfaatan bagi sesama. Wallahu a'lam.

Berbagi Kebahagiaan

Berbagi Kebahagiaan


Berbagi Kebahagiaan


Abu Hurairah RA meriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Perbuatan paling baik ialah engkau memasukkan kebahagiaan kepada saudara yang mukmin dan Muslim, atau engkau membayar utangnya, atau memberinya roti.” (Hadis Hasan).

Menurut hadis yang diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan Imam Ahmad bin Hanbal di atas, setidaknya ada tiga amal saleh yang dikategorikan sebagai amal paling baik menurut Rasulullah SAW.

Pertama, memberikan kebahagiaan kepada saudaranya yang mukmin dan Muslim. Menurut Syekh Al-Ghazali dalam bukunya “Kimiyyah Al-Sa'adah”, kimia kebahagiaan itu adalah mempersepsikan dunia dan akhirat dengan benar untuk menghadap kepada Allah SWT.

Menurutnya, kimia kebahagiaan itu terdiri atas empat elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia, dan pengetahuan tentang akhirat.

Orang yang memiliki ilmu (alim/ulama) bisa menunjukkan bagaimana manusia mampu menemukan kebahagiaan hakikinya, sebagaimana yang disampaikan Syekh Al-Ghazali tersebut. Para dermawan bisa memberikan hartanya untuk memberikan kebahagiaan tersebut kepada saudara-saudaranya yang sangat membutuhkan.

Setiap Ramadhan, Rasulullah bersedekah lebih kencang dibanding bulan lainnya. Para hartawan, semestinya juga demikian. Diminta maupun tidak, harusnya senantiasa mendistribusikan hartanya kepada dhuafa dan orang-orang yang membutuhkan. (QS [2]:177).

Begitu pula bagi para pemimpin. Dengan segala wewenangnya, seharusnya dia mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah selalu melakukan pengecekan langsung di lapangan. Apakah ada warga miskin yang kekurangan sandang pangan. Dan tidak jarang, Umar langsung memberikan solusi sendiri atas problem tersebut.

Umar bin Khattab sering menolong rakyat, mengambilkan air, memikul gandum, ataupun lainnya. Suatu malam, Thalhah melihat Umar masuk ke rumah seorang perempuan. Pada keesokan harinya, Thalhah mendatangi rumah perempuan itu.

Setelah mendapatkan izin untuk masuk, ternyata di dalam rumah itu tinggal seorang perempuan tua yang sudah lemah, buta, dan lumpuh. Thalhah bertanya kepada perempuan tersebut, “Apa yang diperbuat orang laki-laki tadi malam di rumahmu?”

Perempuan itu menjawab, “Orang (Umar—Red) itu sudah sejak lama datang kepadaku dengan membawa sesuatu sehingga bisa membuatku bahagia dan terhindar dari segala gangguan.” (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah).

Amal saleh kedua adalah membayarkan utang saudaranya. Ini merupakan amalan yang sangat luar biasa, karena aghniya' (orang kaya) memiliki kemampuan untuk melepaskan orang lain dari berutang, dari rasa ketakutan, kegelisahan, tertekan, diteror, rasa didominasi, dan rasa direndahkan harga dirinya. Maka, wajar Allah memberikan pahala yang begitu besar kepada para aghniya' ini. (Hadis ke-247 dan 248 dalam Riyadus Shalihin).

Amal saleh ketiga adalah memberikan roti atau makan. (QS [76]: 8-9). Memberikan makan juga harus yang terbaik, yakni sebagaimana yang biasa kita makan. Jangan sampai makanan sisa dan basi justru kita berikan kepada orang lain, padahal kita sendiri enggan untuk memakannya.

Buah Silaturahim

Buah Silaturahim


Buah Silaturahim


Tidak dimungkiri bahwa silaturahim merupakan salah satu perintah Allah SWT yang menjadi pilar bagi terbentuknya masyarakat dan kuat dan sehat.

Silaturahim sendiri mengandung banyak manfaat dan keutamaan, baik bagi penjalin silaturahim, pihak yang disilaturahimi maupun masyarakat luas.

Salah satu buah dari silaturahim adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan antar berbagai golongan di masyarakat.

Namun sayang, buah silaturahim yang satu ini terkadang bersifat semu dan tidak nyata dalam kehidupan, karena silaturahim yang dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan bersosialisasi; tidak didasari oleh niat sungguh-sungguh dalam memaknai arti silaturahim; kuatnya ego yang mengganggap diri dan kelompoknya paling benar sedang kelompok lain berada pada pihak yang salah; dan tidak berangkat dari titik yang sama.

Padahal, silaturahim yang membuahkan persatuan dan kesatuan merupakan dambaan setiap orang yang berada di dalam dan di luar area silaturahim, karena baik silaturahim maupun persatuan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah dan manifestasi berpegang teguh terhadap agama Islam.

Mereka yang ingin senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah dan berpegang teguh terhadap agamanya idealnya memanifestasikan beberapa hal berikut ini dalam kehidupannya:

Pertama, bersikap kasih sayang terhadap sesama Muslim, toleran terhadap non-Muslim dan bersikap keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam. Allah SWT berfirman, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang terhadap sesama mereka." (QS. Al Fath: 29).

Kedua, mengikuti jalan Islam yang lurus dan menjauh dari jalan bengkok yang menyalahinya. "Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikian Dia memerintahkan kepadamu kamu bertakwa." (QS. Al-An'am: 153).

Ketiga, merasa diawasi Allah dalam setiap perbuatan dan diamnya serta mengikhlaskan segala perbuatan karena-Nya. Ikhlas merupakan syarat utama diterimanya ibadah dan ketaatan. Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman melakukan perbuatan semata-mata mengharap ridha-Nya dan bekerja keras atas dasar keimanan kepada-Nya, karena dengan dua modal itu perbuatan manusia menjadi sempurna. (QS. Az-Zumar: 2).

Keempat, siap berjihad dengan jalan mengorbankan diri, jiwa dan harta di jalan Allah dan untuk kepentingan agama-Nya. jihad di sini adalah jihad dalam rangka menegakkan agama Allah, membela kebenaran, membela tanah air, membela masyarakat dan membela tempat tinggal kita. (QS. At-Taubah: 41).

Kelima, siap bekerjasama di pelbagai bidang yang melahirkan kemaslahatan individu, kelompok, masyarakat, bangsa maupun dunia demi merealisasikan kemajuan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)  kebajikan dan takwa." (QS. Al-Ma'idah: 2).

Keenam, turut merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh saudara sesama Muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam sikap saling mencintai, lemah lembut dan kasih sayangnya bagaikan satu anggota badan, apabila satu dari anggotanya menderita sakit, maka anggota yang lain merasakan (pula) sakit dan demam." (HR. Bukhari-Muslim).

Demikianlah pengingat yang sering terlupa dalam kegiatan silaturahim agar kita senantiasa mewujudkan persatuan dan kesatuan karena di dalamnya terkandung kekuatan, kebahagiaan, kepentingan dan kemuliaan umat Islam. Wallahu a'lam.

Kisah Indah Abu Hurairah

Kisah Indah Abu Hurairah


Kisah Indah Abu Hurairah

Waktu kecil Abdusy Syams (hamba Matahari) sangat sayang kepada seekor anak kucing betina, yang dalam bahasa Arab disebut Hurairah. Sejak itu, dia dikenal dengan panggilan Abu Hurairah.

Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW lebih suka memanggilnya Abu Hirr sebagai panggilan akrab, dan dia lebih suka panggilan itu. Abu Hirr artinya penyayang kucing jantan.

Namun, Rasulullah SAW kemudian mengganti namanya menjadi Abdur Rahman (hamba Allah yang Mahapenyayang).

Abu Hurairah RA berasal dari suku Daus dan dia masuk Islam melalui Thu f ail bin ‘Amir ad-Dausy, salah seorang pe mimpin suku tersebut.

Setelah masuk Islam, pemuda Ad-Dausy ini pergi ke Madinah menemui Nabi dan berkhidmat untuk Rasulullah sepenuh hati. Dia tinggal bersama ahli shuffah di beranda Masjid Nabawi. Tiap waktu dia bisa shalat di belakang Nabi dan mendengarkan pelajaran berharga dari Nabi.

Abu Hurairah punya ibu yang sudah tua dan sangat disayanginya. Dia ingin ibunya memeluk Islam, tapi menolak bahkan mencela Rasulullah SAW. Abu Hurairah sangat sedih. Dia pergi menemui Rasulullah sambil menangis.

“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hirra?” sapa Nabi. Abu Hurairah menjelaskan apa yang menyebabkan hatinya galau, sambil meminta Rasul mendoakan ibunya. Lalu Nabi berdoa agar ibu Abu Hurairah terbuka hatinya untuk menerima Islam.

Suatu hari Abu Hurairah menemui ibunya. Sebelum membuka pintu dia mendengar suara gemericik air, kemudian terdengar suara ibunya. “Tunggu di tempatmu, Nak!”

Setelah dipersilakan masuk, Abu Hurairah kaget tatkala ibunya langsung menyambut dengan ucapan dua kalimat syahadat. Alangkah bahagianya Abu Hurairah, keinginannya tercapai. Segera dia kembali menemui Rasulullah. “Dulu aku menangis karena sedih, sekarang aku menangis karena gembira.”

Abu Hurairah sangat menyayangi ibunya, terlebih setelah ibunya masuk Islam. Dia selalu hormat dan berbakti kepada ibunya. Setiap akan pergi meninggalkan rumah dia berdiri lebih dahulu di depan pintu kamar ibunya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullah wa barakatuh, ya ummah!”

Ibunya menjawab dengan lembut, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh, ya bunayya.”

Kemudian, Abu Hurairah mendoakan ibunya, “Rahimakillahu kama rabbay tini shaghira” (semoga Allah mengasihi ibu sebagaimana ibu merawatku waktu kecil).”

Ibunya membalas doa putranya dengan doa yang tidak kalah indahnya, “Wa rahimakallahu kama barartani kabira” (semoga Allah mengasihimu sebagaimana engkau berbuat baik kepadaku setelah engkau dewasa).

Abu Hurairah aktif mengajak orang lain agar memuliakan dan berbuat baik dan menyayangi kedua orang tua. Suatu hari dia melihat dua orang berjalan bersama, yang satu lebih tua dari lainnya. Abu Hurairah bertanya kepada yang muda, siapa orang tua ini? “Bapakku,” jawab anak muda itu.

Lalu Abu Hurairah menasihatinya. “Janganlah engkau memanggilnya dengan menyebut namanya. Jangan berjalan di hadapannya. Dan jangan duduk sebelum dia duduk lebih dahulu.” Begitulah, sisi lain Abu Hurairah, yang sangat sayang kepada ibunya dan hormat kepada yang lebih tua.

Berlapang Dada

Berlapang Dada


Berlapang Dada

Kesuksesan seseorang diawali dengan sikap lapang dada menghadapi berbagai tantangan. Orang sempit dada sulit maju karena kekerdilan dan kepicikan jiwa.

Agar sukses dalam membawa misi, Nabi Musa memohon kelapangan dada. Berkata Musa, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku.” (QS Thaha [20]: 25).

Sebelum Rasulullah SAW mengemban tugas risalah, beliau juga dilapangkan dadanya terlebih dahulu. “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS Al-Insyirah [94]: 1).

Walau Nabi SAW sudah dilapangkan dadanya, saat menghadapi hinaan kaum Quraisy, masih merasa kesempitan dada. Allah menegaskan, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS Al-Hijr [15]: 97).

Intimidasi kaum Quraisy ini mendesak Rasulullah untuk meminta perlindungan kerabatnya di Thaif. Namun, saat ke Thaif beliau dilempari batu oleh budak-budak yang dikerahkan oleh para tuan mereka. Saking beratnya penderitaan Nabi saat itu, Allah mengutus Malaikat Jibril dan menawarkan diri untuk menyiksa panduduk Thaif.

Namun, Rasul SAW tak ingin melakukan hal itu. Beliau hanya berdoa, “Ya Allah berilah petunjuk kaumku karena mereka tidak mengetahui.”

Allah berfirman, “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS Al-Hijr [15]: 98-99).

Berdasarkan ayat di atas, untuk menghadapi berbagai penyebab kesempitan dada, Allah memberikan petunjuk tiga hal. Pertama, memperbanyak zikrullah, bertasbih dengan memuji Allah. Zikrullah adalah penyebab masuk surga. (QS Ali Imran [3]: 133-134). Zikrullah adalah amalan utama untuk menuju surga dan dengan zikrullah hati menjadi tenang. (QS Ar-Ra’du [13]: 28).

Abdullah bin Bashar RA meriwayatkan, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pintu kebajikan sangat banyak dan aku tidak bisa melaksanakan semuanya, maka beritahukan kepadaku suatu amalan yang bisa aku selalu pegang tapi tidak terlalu banyak, nanti aku lupa.” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu dibasahi dengan zikrullah.” (HR Tirmizi).

Kedua, memperbanyak sujud. Dengan banyak sujud berarti kita banyak menunaikan shalat, khususnya yang wajib ditambah dengan nawafil (sunah). Dan ini adalah sebab masuk surga.

Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami berkata, “Aku menginap di rumah Rasulullah untuk melayani wudhu dan semua kebutuhannya.” Lalu beliau bersabda, “Mintalah (sesuatu) kepadaku!” Aku berkata, “Aku memohon agar bisa bersamamu di surga.” Beliau bersabda, “Apakah tidak ada yang lain?” Aku menjawab, “Itu saja.” Lalu Beliau bersabda, “Untuk itu, bantulah aku dengan memperbanyak sujud.” (HR Muslim dan Abu Daud).

Ketiga, menjadikan semua aktivitas hidup dalam kerangka ibadah kepada Allah. (QS Al-An’am [6]: 162). Kalau kita memiliki etos hidup seperti ini, kita akan merasa nyaman karena senang bersyukur dan susah bersabar, semua akan berpahala.

Belajar Ikhlas

Belajar Ikhlas


Belajar Ikhlas

Ikhlas itu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Karena itu, kita perlu belajar dan membiasakan diri menjadi mukhlis (orang yang ikhlas).

Dari segi bahasa, ikhlas itu mengandung makna memurnikan dari kotoran, membebaskan diri dari segala yang merusak niat dan tujuan kita dalam melakukan suatu amalan.

Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.

Ungkapan “semata-mata karena Allah SWT” setidaknya mengandung tiga dimensi penghambaan, yaitu niatnya benar karena Allah (shalih al-niyyat), sesuai tata caranya (shalih al-kaifiyyat), dan tujuannya untuk mencari rida Allah SWT (shalih al-ghayat), bukan karena mengharap pujian, sanjungan, apresiasi, dan balasan dari selain Allah SWT.

Beribadah secara ikhlas merupakan dambaan setiap Mukmin yang saleh karena ikhlas mengantarkannya untuk benar-benar hanya menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, tidak menyekutukan atau menuhankan selain- Nya. “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS An-Nisa’ [4]: 36).

Jika ikhlas sudah menjadi karakter hati dalam beramal ibadah, niscaya keberagamaan kita menjadi lurus, benar, dan istiqamah (konsisten). (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Selain kunci diterima tidaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT, ikhlas juga membuat “kinerja” kita bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas.

Menurut Imam Al-Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga. Pertama, ikhlas awam yakni ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, ikhlash khawas,ialah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan “sesuatu” dari-Nya.

Ketiga, ikhlash khawas al-khawas adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Mahasegala-galanya.

Ikhlas merupakan komitmen ter ting gi yang seharusnya ditambatkan oleh setiap Mukmin dalam hatinya: sebuah komitmen tulus ikhlas yang sering dinyatakan dalam doa iftitah. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Tuhan semesta alam). (QS Al-An’am [6]: 162).

Sifat dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan diri dari godaan setan (Iblis). Menurut At-Thabari, hamba yang mukhlis adalah orang-orang Mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan dibujuk rayu dan diprovokasi setan.

Ikhlas sejatinya juga merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang meng isi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.”

Wasiat dari Jibril

Wasiat dari Jibril


Wasiat dari Jibril

Dalam suatu riwayat Ibnu Hatim, disebutkan bahwa Jibril AS pernah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Tidaklah aku diutus kepada seseorang yang lebih aku cintai daripada ketika aku diutus kepadamu.”

“Maukah aku ajarkan kepadamu (kalimat pembuka) doa yang aku simpan khusus untukmu—yang belum pernah aku ajarkan kepada seorangpun sebelummu—yang dapat engkau baca sewaktu berdoa dengan harap-harap cemas? Maka bacalah:

“Yaa nuurus samawaati wal ardhi.
Wayaa qoyyumas samaawaati wal ardhi.
Wayaa shomadas samaawati wal ardhi.
Wayaa zainas samaawaati wal ardhi.
Wayaa jamaalas samaawati wal ardhi.
Wayaa dzal jalaali wal ikroom.
Wayaa ghoutsal mustaghitsiina.
Wamuntaha roghbatil ‘aabidiina.
Wa munaffisal kurobi ‘anil makrubiina.
Wa mufarrijal ghommi ‘anil maghmuumiina.
Wa shoriikhol mustashrikhiina.
Wa mujiiba suu’aalil ‘abidiina…”
“Wahai Dzat Yang Menerangi langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Mengurus langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Menahan langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Menghiasi langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Memperindah langit dan bumi.
Wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan.
Wahai Dzat Yang menjadi tempat memohon pertolongan bagi mereka yang memohonnya.
Wahai Dzat yang menjadi puncak harapan para ahli ibadah.
Wahai Dzat Yang Melepaskan beragam kesulitan bagi mereka yang dilandanya.
Wahai Dzat Yang Menghilangkan kecemasan dari mereka yang ditimpanya.
Wahai Dzat Yang Memberi pertolongan kepada mereka yang memohonnya.
Dan, Wahai Dzat Yang Mengabulkan permohonan para hamba-Nya…”

“Selanjutnya, silakan engkau berdoa kepada Allah dengan doa yang menyangkut urusan dunia dan akhirat.”

Berdoa adalah kebutuhan seorang hamba pada Tuhannya. Biasanya, kebutuhan itu muncul setiap saat terlebih jika kita merasa bahwa diri ini tidak sanggup menanggung beban, masalah yang datang bergantian, hingga sampai putus harapan.

Selain sebagai kebutuhan, Allah juga menyerukan para hamba-Nya untuk mau berdoa, meminta apa pun yang kita inginkan, tanpa harus ‘memaksa’ Allah untuk cepat mengabulkan doa kita. Sebab pada dasarnya, cukuplah Allah yang Mahatahu segala yang terbaik untuk segenap hamba-Nya dan cukuplah hak kabul-mengabulkan menjadi urusan dan rahasia-Nya semata.

“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al-Mukmin: 60).

Islam begitu indah dan sistematis. Segala amal ibadah memiliki cara dan adab masing-masing. Begitu pun dengan berdoa. Karena Allah menganjurkan kita untuk berdoa dan lengkap dengan jaminannya bahwa akan dikabulkan oleh-Nya, maka perbanyaklah meminta pada Allah dengan suara yang lembut, penuh harap—juga selipkan wasiat Jibril selepas shalat fardhu kita. Insya Allah, Dia perkenankan semua hajat kita. Amin. Wallahu a’lam.

Menyelami Nasihat Luqman

Menyelami Nasihat Luqman

Menyelami Nasihat Luqman

Dalam Surah Luqman, Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman: 13).

Petikan firman Allah di atas yang secara jelas termaktub dalam QS Luqman ayat 13 hingga 19. Dari beberapa nasihatnya yang Allah abadikan dalam Alquran, Luqman dikenal sebagai seorang ayah bijak yang menasihati anaknya perihal beberapa tanggungjawab manusia kepada Tuhannya, ibu-bapaknya, juga sesamanya.

Secara garis besar, Luqman menasihati anaknya dengan nasihat bijak, santun, indah, hingga Allah pun mengabadikan nama Luqman juga beberapa nasihat yang ia tuturkan untuk buah hatinya.

Tanggung jawab manusia kepada Tuhan, menurut Luqman, adalah dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun, baik dalam hal keyakinan maupun material. Kedua, tanggung jawab manusia kepada orangtuanya adalah dengan berbakti, menghormati, dan tidak menyakiti keduanya kecuali jika orangtua tersebut menyuruh berbuat maksiat.

Ketiga, tanggung jawab manusia kepada sesamanya agar tidak berperilaku sombong, membiasakan diri untuk berperilaku sederhana, baik dalam berjalan dan bertutur. Dan poin terakhir inilah yang disadari maupun tidak, sering kita abaikan.

Imam Ali RA pernah berkata, “Jadilah manusia paling baik di sisi Allah, jadilah manusia paling buruk dalam pandangan dirimu dan jadilah manusia biasa di hadapan orang lain.”

Jadilah manusia yang paling baik di sisi Allah. Maksud paling baik disini ialah dengan memaksimalkan sisa usia dengan bertafakur, berusaha mengingat nikmat-nikmat Allah serta berusaha mensyukurinya.

Selain syukur, manusia juga dituntut untuk bersabar kala cobaan mendera dan menyapa secara tiba-tiba. Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa hati manusia hanya dituntut untuk dua hal, yakni syukur dan sabar. Syukur jika kita memperoleh nikmat yang secara langsung maupun tidak kita bersedia berbagi dengan sesama.

Kedua sabar, sabar dalam arti luas mampu melihat segala cobaan bukan dari ‘ujian’ semata, namun juga ‘teguran’ Allah SWT agar kita menyadari sepenuhnya bahwa setiap masalah yang datang, juga karena tindakan yang kita perbuat. Sebab apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai di luar konteks ‘cobaan’ Allah. Sebab, tidak ada cobaan yang tidak membuahkan hikmah dan pelajaran yang berharga.

“… dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman: 17).

Kedua, jadilah manusia yang paling buruk dalam pandangan dirimu. Nasihat Imam Ali RA ini setidaknya menyiratkan dua hal yaitu menyadari bahwa status kita hanyalah ‘hamba’ di hadapan Allah, juga mengajarkan kita bahwa (mungkin) manusia lain derajatnya justru lebih tinggi di hadapan Allah. Pada intinya, dua hal ini akan mengantarkan kita kepada sikap tawadhu dan menetralisir perasaan tinggi hati dalam diri.

Ketiga, jadilah orang biasa di hadapan sesama. Dalam pandangan Islam, semua manusia itu sama dan Allah tidak membedakan manusia hanya karena harta dan tahta, namun Allah membedakan manusia karena ketakwaannya. Oleh karenanya, sebagian besar ulama berdoa sebagai berikut:

“Allahummaj‘alnii shobuuron waj’alnii syakuuron waj’alnii fii ‘ainii shogiiron wa fii a’yunin naasi kabiiron” (Ya Allah jadikan aku orang yang bersabar dan bersyukur. Jadikanlah aku seorang yang hina menurut pandangan diriku sendiri, dan jadikanlah aku orang yang besar menurut pandangan orang lain).

Membuka Pintu Surga

Membuka Pintu Surga


Membuka Pintu Surga


Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang Ashar.

Fatimah binti Rasulullah, istrinya menyambut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. "Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeser pun."

Fatimah menyahut sambil tersenyum, "Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta'ala."

"Terima kasih," jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal, persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh, Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih.

Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah. Sepulang dari masjid, di jalan ia dihentikan oleh seorang bapak tua.

"Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abu Thalib?" tanya lelaki tua itu

Ali menjawab heran. "Ya, betul. Ada apa, Tuan?''

Orang tua itu merogoh kantongnya seraya menjawab, "Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya."

Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.

Tentu saja Fatimah sangat gembira memperoleh rezeki yang tidak di sangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.

Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, "Siapakah yang mau mengutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepada saya, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan."

Tanpa pikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu.

Pada waktu ia pulang dan Fatimah keheranan melihat suaminya tidak membawa apa-apa, Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Fatimah, masih dalam senyum, berkata, "Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita mengutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya, dan menutup pintu surga buat kita."